Catatan Cinta pada Pusara (cerpen)
April 19, 2012 at 8:30pm
Malam perpisahan sebuah sekolah menengah atas.
Sepasang muda-mudi berbincang di salah satu sudut ruangan yang riuh oleh
siswa-siswi yang merayakan kelulusannya. Simfoni, atau yang akrab disapa Oni,
berdiri dengan wajah muram di hadapan sang kekasih.
“Jangan sedih, sayang...” ucap Daniel, lelaki tampan yang berhasil
memenangkan hati Oni sejak beberapa bulan yang lalu, seraya memegang dagu dan
menengadahkan kepala gadis yang dikasihinya tersebut.
“Kamu serius?” tanya Oni. Mata yang menampung bendungan emosi itu menatap
tajam lawan bicaranya.
“Iya, aku sudah bilang sebelumnya bukan? Aku ingin melanjutkan kuliahku di
Jerman. Maafkan aku...” diusapnya pipi gadis itu.
Namun sang gadis menepis tangan yang mendarat di pipinya seraya berkata,
“tapi kamu tidak bermaksud untuk mengakhiri hubungan ini bukan?” tanyanya penuh
harap.
Daniel tersenyum seraya mengusap rambut Oni yang tergerai indah
menyempurnakan penampilannya yang dibalut gaun pendek berwarna putih. “Tentu
tidak. Kita masih dapat berkirim pesan melalui jejaring sosial bukan? Aku harus
pergi sekarang, aku harap kamu mengerti dan dapat bersabar menanti aku kembali.
Jangan takut, sayang. Aku akan tetap menyayangimu” lelaki itu mencium kening
Oni dan meninggalkan gadis itu sendiri di sana.
Ditatapnya punggung lelaki yang semakin menjauh itu. “Aku juga sayang kamu”
ucapnya lirih. Tak kuasa menahan segala rasa yang tumpah ruah dalam dada, maka
Oni pun mengalihkan pandangannya. Matanya lurus menembus jendela dan menatap
langit di luar sana. Kumpulan bintang seolah tersenyum menghibur satu hati yang
gundah. Sebutir air mata dari sudut mata kanannya meluncur dengan sempurna
membasahi pipinya. Dipejamkan matanya sejenak, ditariknya nafas dalam-dalam,
lalu dihembuskannya perlahan. Mencoba menenangkan gejolak dalam hatinya, namun
tampaknya tak cukup berhasil.
Di satu sisi dia tak ingin kehilangan orang yang sangat disayanginya, namun
di sisi lain dia harus meredam keegoisannya agar tak berkuasa. Terjadi
pertempuran hati di dalam sana. Seandainya waktu dapat dihentikan dengan
mudahnya, dia ingin tetap berada di saat dia masih dapat menggenggam erat
tangan sang kekasih dan tak akan pernah dilepaskannya lagi. Saat-saat yang amat
tak diinginkannya pun akhirnya datang menghampiri. Dia telah terbiasa menjalani
harinya bersama Daniel, sanggupkah dia ditempatkan dalam keadaan seperti ini? Biarlah
waktu yang menjawabnya. Satu hal yang terus dia tanamkan dalam dirinya,
“tugasku sekarang adalah menjaga supaya perasaan ini tetap begini dan tidak
berubah”.
###
Berpijak pada satu titik, menanti sebuah senyuman
Berdendang alunan nada menjemukan di balik kesunyian
Gemericik air buyarkan sebuah lamunan
Semu seolah nyata
Aku berdiri menopang satu harapan yang tak kunjung datang
Tetap bertahan atu kembali ke peraduan?
Hening…
Duniaku hilang entah kemana
Ingin mencari namun tak tau tujuan
Langkah kaki yang ku rindukan telah lama tak ku dengar
Bahkan hembusan angin pun dapat menyemarakkan hariku
Terlalu sunyi…
Hanya aku dan semua anganku yang melambai-lambai di atas awan
Aku…
Pemimpi kecil yang menantikan sang pangeran
Setahun berlalu setelah pertemuan terakhirnya dengan Daniel. Oni berdiri
menghadap jendela kamarnya menatap langit malam yang datang merangkak diiringi
dengan senyuman hangat sang rembulan. Ditutupnya tirai jendela itu dengan
wajahnya yang lesu. Lalu langkah gontainya tertuju pada satu titik di
hadapannya, meja belajar. Duduklah dia di belakang meja itu berhadapan dengan laptop kesayangannya.
Jemari lentiknya menari dengan lincah membuka sebuah akun facebook miliknya.
Tak ada kabar apapun dari sang pujaan hati. Dia mengingkari janjinya.
Ditulisnya sebuah pesan untuk lelaki itu:
Satu tahun tanpa hadirnya kamu dan tanpa kabar apapun dari kamu. Mana janji
kamu? Apa kamu sudah melupakan aku?
Hhh... adakah yang lebih menyesakkan lagi daripada mengakhiri hubungan
indah tanpa sebuah kepastian bahkan tanpa sepatah kata pun? Oni merebahkan
tubuhnya yang terasa amat lelah. Lama... Lama... Dan dia pun mulai terlelap.
Membuka sebuah gerbang alam bawah sadar dengan harapan yang sama, mendapat
sebuah kepastian.
###
Pukul 09:43, Oni berlari menyusuri koridor kampus yang tampak lengang
dengan sesekali melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Berharap detik jam
dapat berhenti dan waktu membeku saat itu juga. Langkahnya terhenti tepat di
depan sebuah ruangan yang begitu hening. Masih dengan nafasnya yang
terengah-engah itu, dia mengintip ke dalam ruangan tersebut melalui jendela.
Tak lama kemudian dia mendengus kesal dan memalingkan wajahnya untuk beranjak
pergi dari ruangan itu. Terlambat. Pak Umar, dosen yang mengagung-agungkan
kedisiplinan itu, telah berdiri tegak berceloteh di depan para mahasiswa yang
tampak acuh tak acuh. Percuma berusaha untuk masuk karena tak akan
diperbolehkan.
Langkah kakinya itu menuntun sang pemilik menuju ke suatu tempat. Taman
kampus. Dia duduk di bawah pohon besar yang dengan sukarela melindunginya dari
cuaca yang terik. Pikirannya melayang melewati waktu demi waktu ke belakang.
Lagi-lagi Daniel muncul dalam benaknya. Saat-saat indah dengan seragam putih
abu-abunya. Ingin kembali pada masa itu tanpa harus berhadapan dengan
perpisahan. Namun gadis itu tak memiliki kuasa, waktu terus bergulir dan dia
telah menanggalkan seragam kebanggaannya. Kenangan masa lalu yang indah namun
begitu menyakitkan.
Sesak. Dia berusaha mengalihkan pikirannya. Dibukanya laptop yang
selalu menemaninya itu dan kembali dibukanya akun facebook miliknya.
Satu pesan! Harap-harap cemas, dibukanya pesan tersebut. Dari Daniel! Tapi...
Kamu siapa?
Deg! Apakah Daniel benar-benar telah melupakan Oni? Mungkinkah? Air matanya
luruh secara tiba-tiba tanpa harus diperintah. Jemarinya bergetar seolah
kehilangan daya untuk bergerak. Nafasnya tertahan, jantungnya seolah berhenti
berdetak. Hatinya mulai bergemuruh, sesuatu yang lain dirasakannya sekarang.
Tidak beres! Dia membuka daftar obrolan dan didapatinya nama Daniel di sana.
Setelah sekian lama, akhirnya Daniel muncul juga. Oni memberanikan diri untuk
membuka obrolan terlebih dahulu.
“Daniel?”
“Kamu siapa?”
“Oni, kamu lupa?”
“Maaf, Oni siapa?”
“Aku pacar kamu, kamu benar-benar lupa? Mana janji kamu dulu?”
Lima menit… Sepuluh menit… Lima belas menit… Tak ada balasan. Inikah
kepastian yang dinantikannya itu? Beginikah? Hancur! Bongkahan harapan itu seolah
melebur seiring dengan terbukanya sebuah tabir misteri yang lama tak terungkap.
Daniel off dan kembali menghilang.
Ini bukan kepastian, bukan! Dan ini juga bukan akhir! Ada sesuatu di balik
semua ini, pasti! Daniel itu pelangi yang selalu menghiasi hari-harinya. Dan
simfoni yang indah tak kan sempurna tanpa hadirnya warna-warni sang pelangi.
Entah dari mana datangnya kekuatan besar tumbuh dalam dirinya. Mungkin karena
rasa itu. Rasa yang begitu sakral. Cinta. Berawal dari sebuah keindahan dan
harus berakhir dengan keindahan pula.
###
Waktu berjalan seiring dengan gerak tubuh yang semakin lunglai. Tak ingin
dan tak pernah ingin menyalahkan takdir atas pertemuan di masa yang lalu. Entah
disadari ataupun tidak, namun penyesalan itu datang menyapa. Semuanya terasa
samar-samar. Memori masa lampau yang perlahan pergi menjauh dan semakin
menjauh.
Daniel telah kembali setelah hampir dua tahun menjalani pengobatan di luar
negeri. Wajahnya pucat pasi, tatapan matanya kosong seolah tak memiliki harapan
apapun. Sang kakak, Nindy, menopang tubuh yang lemas itu dan membaringkannya di
tempat tidur. Daniel terpejam dan sang kakak hanya memandangi wajah adiknya itu
dengan sesekali menyeka air matanya yang hampir terjatuh.
“Kamu pantas bahagia” ucap sang kakak seraya mengusap lembut rambut ikal di
hadapannya.
Nindy pergi dengan satu tujuan, menemui Oni. Dihubunginya beberapa sahabat
Daniel semasa SMA untuk mencari keberadaan Oni. Beruntunglah karena tak sulit
rupanya untuk menemui gadis tersebut. Sesampainya dia di rumah Oni, tanpa
basa-basi Nindy pun segera mengutarakan maksud dan tujuannya.
“Maaf, saya datang ke sini dengan tiba-tiba. Saya Nindy, kakaknya Daniel,
pacar kamu”
Oni pun tersentak kaget mendengar nama Daniel. Inikah jawaban dari
pertanyaannya? “Daniel di mana? Kenapa dia tidak mengingatku? Ada apa
dengannya?” air matanya luruh perlahan dan terus membanjiri pipinya.
Nindy mengusap punggung Oni untuk mencoba menenangkannya. “Selama ini dia
di luar negeri untuk menjalani pengobatan. Dia mengidap kanker otak. Dan
sekarang dia kembali ke sini karena dokter telah angkat tangan”
Bagaikan tersambar petir ribuan volt, Oni mematung tak percaya dengan
pendengarannya. Kekasihnya itu... Pelanginya itu perlahan akan memudar dan
kehilangan warna.
“Dia sempat bercerita bahwa ada seseorang yang mengaku sebagai pacarnya.
Maaf jika dia tidak ingat pada hubungan kalian, namun yakinilah cintanya itu
tetap ada dan terus tumbuh. Saya ingin Daniel bahagia di saat-saat terakhirnya,
kamu mau membantu?”
Dengan cepat Oni menganggukan kepalanya untuk menyatakan persetujuannya.
Dan tepat saat itu juga, hari baru dimulai.
###
Beberapa bulan terakhir dalam hidup Daniel.
Oni senantiasa menemani detik demi detik yang berjalan seiring dengan
kepedihan yang semakin mendalam. Waktu yang barjalan menakutkan, namun harus
tetap dijalani dengan segaris senyuman. Hadir sebagai sahabat yang memberi
limpahan semangat dan cucuran harapan untuk orang yang tersayang. Hingga
saatnya tiba…
Suasana haru di pemakaman terlihat amat jelas. Sekumpulan orang-orang
berpakaian hitam tertunduk berdoa dengan khusyuk. Mengantar jasad Daniel ke
tempat peristirahatan terakhirnya. Hukum alam, setiap yang bernyawa pasti akan
mati. Percuma menangisi kepergiannya, karena manusia tak kuasa mengubah takdir
hidup dan mari. Oni terdiam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Sebutir air
mata menetes di balik kacamata hitamnya. Satu persatu para pelayat itu pergi
meninggalkan pemakaman, hanya tertinggal Nindy dan Oni.
“Kamu kuat, jangan menangis. Karena Daniel pasti akan ikut bersedih” ucap
Nindy meguatkan Oni. Butuh waktu sendiri untuk meredam pukulan berat itu, Nindy
pun mengerti dan kemudian meninggalkan Oni yang masih terdiam di sana.
Karangan bunga yang sedaritadi digenggamnya itu pun akhirnya dia letakkan
di atas pusara sang kekasih. Karangan bunga yang cantik dengan satu catatan
kecil yang tersemat di antaranya:
Kata akhir itu memang ada, namun kata itu tak akan muncul pada kisah manis
yang kita jalani ini.
Tak kuasa terbawa suasana, Oni memalingkan perhatiannya ke pemandangan di
sebelah kanannya. Jauh di sana, terlihat Daniel yang berdiri dan tersenyum
memandangnya. Dibukanya kacamata hitamnya itu untuk memperjelas apa yang
dilihatnya, namun Daniel telah menghilang. Senyuman terakhir dari Daniel yang
dapat dilihatnya.
created by Yuliana Bakti Pertiwi


0 komentar:
Posting Komentar