Pages

Kamis, 24 Januari 2013

Kasus Bunuh Diri di Indonesia


KASUS BUNUH DIRI DI INDONESIA

Warga Jakarta, Senin, 30 November 2009 lalu dikagetkan peristiwa jatuhnya seorang perempuan, bernama Ice Juniar dari lantai lima Grand Indonesia.

Belum juga usai pemberitaan perempuan malang ini, warga Jakarta kembali dikejutkan kembali dikejutkan dengan jatuhnya seorang pria bernama Reno. Dia terjatuh dari lantai lima pada 20.30 WIB.

Banyak spekulasi bermunculan atas cerita jatuhnya kedua orang ini. Mulai dari bunuh diri, faktor keamanan mal, kelalaian dari pengelola mal, atau pasangan bunuh diri seperti dalam cerita Romeo dan Juliet karya William Shakespeare.
Namun, angka kematian akibat bunuh diri di tanah air belakangan cenderung meningkat. Kasus yang disebabkan banyak faktor ini, cenderung dilakukan ditempat-tempat terbuka.
Di Provinsi Bali, berdasarkan data yang dihimpun Kepolisian Daerah Bali selama lima bulan tahun 2008 sebanyak 70 kasus, sementara tahun 2009 ada 39 kasus.

Namun caranya berbeda, justru kasus yang terbanyak melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri sebanyak 36 orang, minum racun dua kasus, menceburkan diri ke sumur satu kasus.

Pelakunya, sebagian besar dilakukan laki-laki. Untuk tahun ini sebesar 24 orang, sementara perempuan ada 15 orang. Sedangkan tahun 2008 ada 52 orang laki-laki dan 18 orang perempuan.

Untuk tingkat usia terbanyak 46-80 tahun ada 14 kasus, 26-45 tahun ada 12 kasus, dan 16-25 tahun dan 5-15 tahun masing-masing ada 11 dan 2.
Jelas ini sangat memprihatinkan, apalagi latar belakang para pelaku bunuh diri karena sakit yang menahun ada 25 kasus, terhimpit masalah ekonomi 5 kasus, dan frustasi ada 9 kasus. Yang membuat miris, justru terbesar dilakukan petani sebanyak 22 kasus, swasta 10 kasus, buruh dan pelajar masing-masing 5 dan dua kasus.
Sementara pada lima tahun terakhir, berdasarkan data yang diluncurkan forensik FKUI/RSCM 2004 terdapat 771 orang laki-laki bunuh diri dan 348 perempuan bunuh diri. Dari jumlah tersebut, 41 persen melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri, dengan menggunakan insektisida 23 persen, dan overdosis mencapai 356 orang.

Pada tahun 2005, tingkat bunuh diri di Indonesia dinilai masih cukup tinggi. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2005, sedikitnya 50.000 orang Indonesia melakukan tindak bunuh diri tiap tahunnya. Dengan demikian, diperkirakan 1.500 orang Indonesia melakukan bunuh diri per harinya.

Sementara untuk tahun 2007, terdapat 12 korban bunuh diri karena terimpit persoalan ekonomi, delapan kasus lainnya akibat penyakit yang tak kunjung sembuh lantaran tidak punya uang untuk berobat, dan dua kasus akibat persoalan moral yakni satu orang lantaran putus cinta, dan seorang akibat depresi.

Lalu pada 2008, berdasarkan data sejak awal 2008 hingga bulan April sudah ada 11 kasus bunuh diri yang terjadi di Kabupaten Banyumas atau rata-rata tiap bulannya hampir tiga kasus.

Adapun faktor psikologi yang mendorong orang bunuh diri adalah dukungan sosial kurang, baru kehilangan pekerjaan, kemiskinan, huru-hara psikologi, konflik berat pengungsi dan sebagainya.

Sementara berdasarkan data dari Sumber Wahana Komunikasi Lintas Spesialis menunjukan, di Indonesia tidak ada data nasional secara spesifikasi tentang bunuh diri.

Namun laporan di Jakarta menyebutkan sekitar 1,2 per 100.000 penduduk dan kejadian bunuh diri tertinggi di Indonesia adalah Gunung Kidul, Yogyakarta mencapai 9 kasus per 100.000 penduduk.

Adapun kejadian bunuh diri tertinggi berada pada kelompok usia remaja dan dewasa muda (15 – 24 tahun), untuk jenis kelamin, laki laki melakukan bunuh diri (comite suicide) empat kali lebih banyak dari perempuan. Namun, perempuan melakukan percobaan bunuh diri (attemp suicide) empat kali lebih banyak dari laki laki.

Posisi Indonesia sendiri hampir mendekati negara-negara bunuh diri, seperti Jepang, dengan tingkat bunuh diri mencapai lebih dari 30.000 orang per tahun dan China yang mencapai 250.000 per tahun.

Kasus bunuh diri di Indonesia belakangan ini dinilai cukup memprihatinkan karena angkanya cenderung meningkat sehingga perlu mendapat perhatian serius pemerintah, kata seorang sumber.

"Kasus bunuh diri menempati satu dari 10 penyebab kematian di setiap negara," kata Ketua Lembaga Kajian dan Pencegahan Bunuh Diri (LKPBD) Kunang-kunang Al Qodir Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta Wiranata Adi, di Sleman, Jumat.

Menurut dia, bunuh diri merupakan satu dari tiga penyebab utama kematian pada kelompok umur 15 hingga 44 tahun dan nomor dua untuk kelompok 10 hingga 24 tahun.

Ia mengatakan, WHO atau Organisasi Kesehatan Dunia pada 2010 melaporkan angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1,6 hingga 1,8 per 100.000 jiwa.

"Angka itu bisa jadi masih lebih besar lagi mengingat fenomena bunuh adalah ibarat gunung es, yang tampak hanya puncaknya sementara yang tertutup dan ditutupi sesungguhnya lebih besar lagi," katanya.

Ia mengatakan, dengan semakin majunya peradaban manusia melalui berbagai teknologi ternyata manusia mengalami kerentanan menghadapi diri sendiri maupun lingkungan yang akhirnya bermuara pada tindakan bunuh diri.

"Kenyataan ini dibuktikan dengan peningkatan angka bunuh diri yang meningkat secara signifikan. Perkiraan WHO memperkirakan pada 2020 angka bunuh diri secara global menjadi 2,4 per 100.000 jiwa dibandingkan 1,8 per 100.000 jiwa pada 1998," katanya.

Wiranata mengatakan, fenomena bunuh diri sudah ada sejak masa purba dan terus berkembang hingga sekarang. Fenomena bunuh diri terjadi di mana-mana dan di semua lapisan masyarakat.

"Model dan caranya terus mengalami perkembangan dan itu sangat memprihatinkan," katanya.

Ia mengatakan, LKPBD Kunang-kunang Al Qodir, didukung beragam profesi dan lintas disiplin ilmu.

"Selain kalangan akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta, LKPBD Kunang2 juga didukung para tokoh dari lintas agama," katanya.

Dengan memperhatikan pentingnya pembahasan perilaku bunuh diri dalam budaya modern kehidupan manusia saat ini, banyak lembaga formal dan nonformal tingkat internasional telah memperlihatkan peningkatan perhatian secara signifikan selama empat dekade ini, katanya.

Ia mengatakan, berbagai pendekatan disiplin keilmuan telah diterapkan tetapi belum memberikan hasil positif dalam menurunkan angka bunuh diri. Kajian bunuh diri sudah banyak dilakukan dengan pendekatan ilmu kedokteran jiwa, psikologi, sosiologi, biologi, agama, filsafat, hukum, budaya, sejarah, politik, ekonomi, klimatologi, kimia, bahkan sampai merambah dunia mistis.

"Namun sayangnya di Indonesia perhatian pemerintah maupun elemen lain terhadap masalah tersebut masih sangat terbatas atau bahkan bisa dibilang hampir tidak ada," katanya.
Semua Alasan Bunuh Diri tersebut muncul karena kurangnya kesadaran diri dan ketidak mampuan otak mencerna apa yang terjadi. Timbulah Putus Asa dan penyesalan, ketika ingin terdar ke dunia nya Otaknya tidak bisa lagi membedakan kenyatan dan Khayalan Otak ketika dalam keadaan tak menentu tadi. Munculah jalan pintas, ide yang dianggapnya Kreatif yaitu menhakhiri semua kesengsaraan dengan jalan Bunuh Diri. Sekarang kita lihat Fakta Perilaku Bunuh Diri di Indonesia yang saya sadur dari kompas.com Tragedi dan statistik Pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin, pernah menyatakan bahwa kematian satu-dua orang boleh jadi adalah tragedi, tetapi ratusan, ribuan, apalagi jutaan orang akan menjadi statistik belaka. Kematian tragis Rubini, Abu Sumono, dan beberapa lainnya dapat dikatakan sebagai tragedi, tetapi bagaimana jika diprediksi setiap hari ada 150 orang bunuh diri karena depresi di Indonesia? Dalam setahun jumlah orang bunuh diri mencapai 50.000 orang! Adakah ini menyiratkan kegentingan bagi kesehatan jiwa di Indonesia? Tahun 2005, Benedetto Saraceno, Direktur Departemen Kesehatan Mental dan Penyalahgunaan Substansi WHO, menyatakan, kematian rata-rata karena bunuh diri di Indonesia 24 kematian per 100.000 penduduk. Jika penduduk Indonesia 220 juta jiwa, diperoleh angka 50.000 kasus kematian akibat bunuh diri. Data ini pernah diungkapkan A Prajitno, Guru Besar Emeritus Psikiatri Universitas Trisakti, dalam Simposium Nasional Bunuh Diri, di Surabaya, April 2009. ”Data itu, menurut hemat saya, terlalu tinggi untuk Indonesia. Angkanya begitu tinggi karena ada depresi massal di Aceh pascatsunami akhir 2004. Di Gunung Kidul, angka bunuh diri tinggi, 9 per 100.000 penduduk. Hal ini karena selama tiga dekade terakhir ada yang merasa tertinggal oleh laju pembangunan. Angka bunuh diri di Jakarta lebih rendah daripada Gunung Kidul, 5,8 per 100.000 orang tahun 1995-2004. Ini karena pelaporan di Jakarta baik,” kata Prajitno yang memperoleh gelar doktornya dengan disertasi tentang bunuh diri di Jakarta. Menurut Hervita Diatri, psikiater komunitas FKUI/RSCM, angka bunuh diri di perkotaan dan di pedesaan Indonesia relatif sama. Di desa memang masyarakatnya lebih guyub, di perkotaan warganya lebih individual dan persaingan hidup lebih keras, tetapi mempunyai akses lebih baik terhadap informasi dan fasilitas layanan kesehatan. Depresi, yang merupakan 80 persen penyebab bunuh diri, bukan penyakit menular seperti demam berdarah dengue atau HIV/AIDS. Namun, bunuh diri sebagai pilihan untuk mengakhiri hidup mereka yang putus asa tak sedikit pula yang menimbulkan efek tiru-tiru (copycat). Di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, beberapa tahun terakhir marak modus bunuh diri dengan melompat dari lantai atas mal atau menara BTS. Tahun 1980-an, modus bunuh diri dengan insektisida juga banyak ditiru orang. Di pedalaman seperti Gunung Kidul, pola bunuh diri paling lazim adalah dengan menggantung diri seperti yang dilakukan Rubini atau dengan racun hama tikus. Mungkinkah bunuh diri di Gunung Kidul dan tempat lain di Indonesia bisa ditekan jika pemerintah dan masyarakat abai dan lalai terhadap pencetus utamanya, yakni depresi? Masih berminat Bunuh Diri ? :D, gak usah lah enakan hidup banyak makanan, bisa maen ke Mall, di akhirat kata orang gak ada warung Boss, udah duyu ya dari Catatan 27 mengenai Fakta Perilaku Bunuh Diri di Indonesia, semoga bermanfaat bagi anda. kuragi angka kematian akibat Bnuh Diri.


0 komentar:

Posting Komentar