Pages

Kamis, 24 Januari 2013

Narkoba di Indonesia


Saat ini menurut hasil penelitian jumlah penyalahguna narkoba adalah 1,5% dari penduduk Indonesia atau sekitas 3,3 juta orang. Dari 80 juta jumlah pemuda Indonesia, 3 % sudah mengalami ketergantungan narkoba, serta sekitar 15. 000 orang telah meninggal dunia (BNN,2006). Bahkan menurut Kalakhar BNN, Drs I Made Mangku Pastika, setiap hari, 40 orang meninggal dunia di negeri ini akibat over dosis narkoba. Angka ini bukanlah jumlah yang sebenarnya dari penyalahguna narkoba. Angka sebenarnya mungkin jauh lebih besar. Menurut Hawari (2002), fenomena penyalahgunaan narkoba itu seperti fenomena gunung es. Angka yang sebenarnya adalah sepuluh kali lipat dari jumlah penyalahguna yang ditemukan.  
Meningkatnya jumlah penyalahguna narkoba dari tahun ke tahun tentunya tidak bisa dianggap masalah yang ringan, tetapi perlu dianggap serius agar penanggulangannya juga bisa dilakukan secara serius.
Secara umum diakui bahwa permasalahan penyalahgunaan narkoba di Indonesia sangatlah kompleks, baik dilihat dari penyebabnya maupun penanganannya. Bila dilihat dari penyebab terjadinya, penyalahgunaan narkoba disebabkan oleh banyak faktor yang saling mempengaruhi satu sama lain. Faktor – faktor tersebut antara lain faktor letak geografi Indonesia, faktor ekonomi, faktor kemudahan memperoleh obat, faktor keluarga dan masyarakat, faktor kepribadian serta faktor fisik dari individu yang menyalahgunakannya.
Dilihat dari letak geografi, Indonesia memang sangat beresiko menjadi sasaran empuk pengedar narkoba karena posisi Indonesia yang terletak diantara dua benua dan dua samudra. Disamping itu juga karena negara Indonesia adalah negara kepulauan dengan banyak pelabuhan yang memudahkan jaringan gelap dalam mengedarkan narkoba.
Dari faktor ekonomi, keuntungan yang berlipat dari bisnis narkoba menyebabkan semakin maraknya bisnis ini di negeri kita. Dalam satu hari seorang pengedar bisa mendapatkan uang yang sangat banyak karena harga narkoba itu mahal. Satu pil ekstasi saja harganya 40.000 rupiah. Disamping faktor keuntungan, faktor sulitnya mendapatkan pekerjaan dan gaya hidup yang serba konsumtif juga merupakan faktor penyebab yang mendorong seseorang menjadi pengedar narkoba.
Untuk faktor kemudahan memperoleh obat, saat ini di Indonesia narkoba bisa dengan mudah diperoleh baik ditempat umum seperti warung maupun di tempat – tempat tertentu seperti diskotik. Banyak yang menawarkan dan menipu si korban agar mau mencoba. Awalnya diberikan gratis dengan dalih pertemanan atau ingin menolong mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Bahkan narkoba bisa ditemukan di kamar kos mahasiswa. Hasil penelitian  Amin (2002) mengungkap bahwa mahasiswa yang kos di jatinangor, Sumedang memperoleh narkoba dari temannya yang sama – sama kos. Mereka menggunakan narkoba dan melakukan sex bebas sebagai sarana rekreasi.
Faktor keluarga juga turut berperan dalam maraknya penyalahgunaan narkoba. Zaman sekarang, akibat tuntutan kebutuhan hidup, kedua orang tua harus membanting tulang untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga. Karena kesibukannya, orang tua terkadang tidak punya waktu untuk berkomunikasi dengan anak – anaknya. Dampaknya anak merasa tidak diperhatikan sehingga mereka mencari orang lain diluar rumah yang mau memperhatikan mereka, dan membentuk nilai – nilai sendiri dengan mengkaitkan dirinya dengan cara menggunakan narkoba (Kusumanto dan Saifun,1975 dalam Yongky, 2003). Hal tersebut juga didukung oleh Hawari (2002) yang menyatakan bahwa alasan remaja menyalahgunakan narkoba adalah karena kehidupan keluarga yang tidak harmonis, orang tua yang terlalu sibuk dan untuk lari dari masalah yang sedang dihadapi.
Kurangnya contoh teladan dari orang tua dan kurangnya penanaman disiplin di rumah membuat anak – anak cenderung bebas melakukan apa saja. Dengan kondisinya yang serba ingin tahu membuat remaja akhirnya juga terjerumus kepada penyalahgunaan narkoba.
Faktor lain yang juga menjadi penyebab banyaknya penyalahguna narkoba adalah masyarakat. Akibat trend kehidupan yang cenderung individualistis, saat ini kepedulian diantara anggota masyarakat terhadap anggota masyarakat lainnya menjadi sangat berkurang. Dulu, bila ada anak tetangga yang bersikap kurang sopan atau berbuat salah, tetangga berusaha menegur. Tapi sekarang hal itu sudah tidak terjadi lagi karena pertama merasa bahwa itu bukan anak saya, kedua karena takut orang tua si anak malah marah kalau anaknya ditegur. Budaya yang dianut oleh sekelompok masyarakat juga sangat besar pengaruhnya. Budaya ini terbentuk karena adanya publik figur yang memberikan contoh. Misalnya, saat ini di kalangan remaja tertentu menyalahgunakan narkoba menjadi kebanggaan karena artis idola mereka juga menggunakan narkoba. 
Faktor kepribadian seseorang juga berpengaruh terhadap penyalahgunaan narkoba. Menurut YATIM (1991), penyalahguna narkoba mempunyai ciri kepribadian lemah, mudah kecewa, kurang kuat menghadapi kegagalan, bersifat memberontak dan kurang mandiri. Sedangkan hasil penelitian Erwin Wijono, dkk (1982) dalam Yongky (2003) di RSKO Jakarta menyimpulkan bahwa ketergantungan obat terlarang mudah terjadi pada mereka dengan ciri –ciri kepribadian : mudah kecewa, cepat emosi, pembosan, lebih mengutamakan kenikmatan sesaat tanpa memikirkan akibatnya di kemudian hari atau pemuasan segera.

            Faktor kepribadian ini sangat erat kaitannya dengan faktor keluarga, dimana kepribadian seseorang sebenarnya banyak dibentuk dalam keluarga. Bagaimana seorang anak diasuh oleh orang tuanya sangat berpengaruh terhadap terbentuknya kepribadiannya. Seseorang yang  diasuh dengan pola asuh yang kurang tepat seperti terlalu dimanjakan atau sebaliknya  terlalu dikekang akan membentuk kepribadian yang lemah dan tidak mandiri. 


C. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Peredaran Narkoba

Karena penyebab yang sangat kompleks dari penyalahgunaan narkoba, penanggulangannyapun tidaklah sederhana. Berbagai upaya telah banyak dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memerangi narkoba. Untuk mengkoordinasikan penanganan masalah tersebut pemerintah sejak tahun 2002 telah membuat suatu Badan yang mengurusnya yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN) berdasarkan UU no 22 th 1997 pasal 54 serta Kepres no 17 th 2002. Tugas pokok BNN adalah mengkoordinasikan instansi terkait dalam menyusun kebijakan dan pelaksanaannya di Bidang penyediaan, pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Disamping itu juga melaksanakan pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap narkoba.
BNN dalam operasionalnya ditingkat provinsi dilaksanakan oleh Badan Narkotika Provinsi (BNP) dan pada tingkat kabupaten Kota oleh Badan narkotika Kabupaten/Kota (BNK). Sampai saat ini telah terbentuk 31 BNP dari 33 provinsi dan baru terbentuk 270 BNK dari 460 Kabupaten Kota di seluruh Indonesia. Sayangnya, baru sebagian kecil dari BNP dan BNK tersebut yang mempunyasi kantor sendiri dan mendapat anggaran dari APBD (SADAR, Maret, 2007). Akibatnya, fungsi BNP dan BNK sendiri belum banyak terlihat.
Strategi Nasional .P4GN diarahkan pada terwujudnya Indonesia bebas NARKOBA th 2015 melalui Pengurangan permintaan (demand reduction), pengurangan sediaan (suplai reduction) dan pengurangan dampak buruk (harm reduction) yang ditunjang dengan program penelitian dan pengembangan, pemantapan koordinasi antar lembaga, pelibatan masyarakat dalam kegiatan P4GN dan kerjasama international (SADAR, Maret, 2007).
Dalam upaya pengurangan permintaan melalui upaya preventif, pemerintah melalui BNN telah melakukan berbagai upaya seperti pelatihan bagi para fasilitator Penyuluh P4GN sebagai upaya meningkatkan keterampilan mereka. Disamping itu juga telah bekerjasama dengan sekolah – sekolah untuk melakukan penyuluhan.  Melakukan kampanye anti narkoba dengan slogan anti narkoba seperti “Say no to drug”, Narkoba, kado istimewa dari neraka, dan sebagainya. Melakukan peringatan hari anti narkoba setiap tahun. Mengadakan buku – buku, leaflet, pamlet, poster, VCD dan sebagainya yang dapat digunakan masyarakat untuk memahami tentang narkoba. Disamping itu juga telah diterbitkan tabloid SADAR oleh BNN yang berisikan berita seputar narkoba. Pada bulan mei 2007 Pemerintah juga telah bekerjasama dengan Metro TV untuk kampanye perang melawan narkoba.
Dalam upaya pemberantasan peredaran gelap narkoba pemerintah melalui aparat keamanan dan penegak hukum telah banyak melakukan penangkapan , penggerebekan serta pemberian hukuman. Seperti misalnya penutupan pabrik narkoba di Cikande, Serang, Banten, tahun 2005, penggeledahan di Lembaga Pemasyarakatan dan pemberian hukuman mati oleh Mahkamah Agung pada 9 orang pengelola pabrik ekstasi Cikande  baru – baru ini (Pikiran Rakyat, mei 2007).
Dalam upaya kuratif dan rehabilitatif, pemerintah telah berupaya mengadakan pusat – pusat rehabilitasi bagi korban narkoba seperti misalnya RSKO di Jakarta dan pusat rehabilitasi narkoba di berbagai Rumah sakit Jiwa di Indonesia dan panti rehabilitasi. Penanganan korban di pusat rehabilitasi beragam, ada yang menggunakan substitusi dengan obat dan ada pula tanpa obat, ada yang menggunakan pendekatan terapeutic community, pendekatan spiritual dan lain – lain.
Bukan hanya pemerintah yang telah berupaya melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba. Masyarakatpun sebenarnya sudah banyak yang berperan. Banyak LSM, yayasan maupun unsur masyarakat seperti Karang taruna dan tokoh masyarakat yang dengan swadaya melakukan upaya – upaya preventif, promotif dan rehabilitatif.
Apakah upaya tersebut telah mampu mengatasi permasalahan narkoba ? Secara jujur tentu belum karena angka penyalah gunaan narkoba terus meningkat dari tahun ke tahun.

D. Analisa Terhadap Berbagai Upaya Pencegahan dan   
     Penanggulangan Peredaran Narkoba
Dari Uraian diatas dapat dikatakan bahwa telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah dan organisasi masyarakat dalam mencegah dan menanggulangi masalah penyalahgunaan narkoba. Akan tetapi masih banyak kelemahan dan kendala yang dihadapi.
Kelemahan pertama yaitu program BNN sampai tahun 2006 masih banyak terfokus pada suplai reduction (SADAR, Desember, 2006). Pemantapan seaport dan airport Interdiction menjadi salah satu upaya BNN bersama instansi terkait untuk mencegah masuknya narkoba ke wilayah Indonesia. Hasilnya cukup memuaskan, namun karena di Indonesia banyak pelabuhan laut terbuka yang tidak punya alat pendeteksi canggih seperti X-Ray di bandara, maka peredaran gelap narkoba masih saja terjadi (KOMPAS, 2005). Kasus 966 kilogram shabu di teluk Naga yang terungkap pada bulan Agustus 2005 cukup sebagai bukti sulitnya mengontrol kejadian ini. Bahkan akhir – akhir ini Indonesia bukan lagi hanya sebagai kawasan peredaran saja tapi juga sebagai produsen. Beberapa pabrik narkoba telah berdiri seperti misalnya pabrik ekstasi di Serang, Banten.
Kedua, BNN terlalu banyak mengerjakan program sendiri, kurang melibatkan instansi terkait dan LSM. Seperti yang diungkapkan oleh Veronica, direktur YCAB Jakarta. BNN harusnya seperti Bandar program, memberdayakan LSM untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keahliannya kemudian memberikan akses dan fasilitas kepada mereka untuk mempermudah pekerjaan (SADAR, Desember, 2006). BNN sebaiknya lebih memerankan fungsinya sebagai fasilitator dan koordinator kegiatan – kegiatan pemberantasan penyalahgunaan narkoba dengan mendorong berbagai unsur yang ada di masyarakat untuk lebih banyak terlibat dalam upaya memerangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.
Ketiga, BNP serta BNK sebagai perpanjangan tangan BNN selama ini belum berfungsi dengan baik. Beberapa BNP dan BNK hanya melakukan kegiatan yang sifatnya seremonial seperti misalnya peringatan hari anti NARKOBA tanpa menjalankan fungsi utamanya sebagai fasilitator dan koordinator program pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba. Akibatnya timbul ketidakpuasan dari masyarakat terhadap kinerja BNP dan BNK. Banyak dari LSM yang ada di daerah merasa tidak puas terhadap kinerja BNP dan BNK. Konsekuensi lain adalah kegiatan-kegiatan yang  dilakukan oleh institusi terkait dan kelompok masyarakat tidak terkoordinir dengan baik sehingga tidak mencapai sasaran.
Untuk itu diperlukan upaya evaluasi dan monitoring terhadap kinerja BNN, dan lebih penting lagi evaluasi dan monitoring terhadap kinerja BNP dan BNK. Disamping itu Pemerintah perlu membuat alat ukur untuk mengukur keberhasilan BNP dan BNK dalam upaya pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap narkoba. Jangan sampai program – program yang ada hanyalah diatas kertas atau lebih parah lagi hanyalah fiktif belaka.
Keempat adalah kurangnya kesadaran masyarakat awam tentang peran mereka dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba. Hal ini mungkin terkait dengan kurangnya sosialisasi keberadaan BNN, BNP dan BNK serta program – programnya ke masyarakat sehingga masyarakat banyak yang tidak mengenal adanya BNN, BNP dan BNK. Masyarakat hanya tahu bahwa permasalahan narkoba adalah tanggung jawab pihak kepolisian saja. Karena kurangnya pengetahuan dan ketakutan yang berlebuhan, mereka cenderung tidak melaporkan kasus – kasus yang mereka temukan. Salah seorang Kanit narkoba di Cimahi menceritakan pengalamannya tentang sulitnya mendapatkan informasi dari masyarakat. Dia pernah mengiklankan “siapa yang mau memberi informasi tentang adanya kasus narkoba di daerah mereka, akan dibayar tinggi.” Tapi tetap tidak ada yang melapor.
Untuk lebih meningkatkan peran serta masyarakat, maka dalam setiap kampanye atau penyuluhan di masyarakat perlu disampaikan tentang konsep bela negara dimana seluruh rakyat Indonesia wajib membela negara. Jadi semua warga negara diwajibkan untuk perang melawan penyalahgunaan dan perdagangan gelap narkoba. Disamping itu kepada BNN, BNP dan BNK agar lebih meningkatkan sosialisasinya ke masyarakat, terlebih lagi masyarakat di pedesaan.
Kelima adalah masih kurangnya melibatkan unsur – unsur masyarakat yang sebenarnya sangat strategis, efektif dan efisien untuk upaya preventif seperti tokoh agama, kelompok ibu – ibu PKK,  dan para kader di tingkat RT dan RW. Permasalahan penyalahgunaan narkoba sangat terkait dengan masalah moral dan kepribadian. Karena itu sangatlah tepat untuk melibatkan para tokoh agama atau ulama atau ustad dan ustadzah dalam program pencegahan. Jika perlu mereka didukung dengan dana yang memadai untuk menjalankan tugas mereka. Bukan hanya untuk sektor terapi dan rehabilitasi seperti yang telah dilakukan BNN dengan membuat kesepakatan bersama antara BNN, Colombo plan dan Nahdatul ulama pada bulan Februari 2006
Para ibu – ibu PKK dan Ibu – ibu kader juga sangat penting untuk dilibatkan dalam program pencegahan. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa sekitar 80 % dari pengguna adalah remaja. Remaja ini masih dalam tanggung jawab orang tua. Kaum Ibu merupakan orang pertama yang bertugas mendidik putra – putrinya. Ketidaktahuan kaum ibu tentang tumbuh kembang anak dan remaja, pola asuh yang tepat bagi anak dan remaja serta narkoba bisa menjadi penyebab remaja terjerumus menyalahgunakan narkoba.
Keenam adalah penyuluhan yang dilakukan selama ini pada masyarakat terutama remaja kurang memperhatikan kondisi sasaran. Penyampaian materi cenderung monoton, kurang variatif. Hasil penelitian Suryani (2006), baru – baru ini tentang persepsi remaja terhadap pelaksanaan penyuluhan narkoba di Jatinongor menunjukkan 54,4 % responden menyatakan negatif terhadap metode dan pemberi materi pada penyuluhan yang pernah mereka ikuti. Mereka menyarankan agar metode yang digunakan disesuaikan dengan kondisi remaja.
Ketujuh adalah bahwa program pencegahan dan rehabilitasi narkoba belum menjangkau daerah pedesaan. Banyak orang – orang di pedesaan yang tidak paham tentang narkoba sehingga mereka dengan mudah terjerumus. Sebagai contoh banyak diantara para korban yang ada di Panti rehabilitasi Pamardi Putra Lembang, Bandung berasal dari daerah pedesaan seperti Cililin, pedesaan garut dan kuningan, Jawa Barat. Di daerah pedesaan di Sumatra ketika saya kunjungan kesana, masyarakatnya banyak yang tidak mengerti tentang permasalahan narkoba dan mereka belum pernah mendapatkan penyuluhan tentang narkoba. Banyak remaja yang terlibat penyalahgunaan narkoba.
Masalah lain adalah banyak dari slogan – slogan yang dibuat kurang simpati, terkesan seram, dan misleading information : sebagai contoh “NARKOBA kado istimewa dari neraka”. Apa betul narkoba itu membawa orang ke neraka, atau menyebabkan orang masuk neraka? Bukankah narkoba itu bermanfaat untuk pengobatan? Yang ke neraka adalah orang yang menyalahgunakan, mengedarkan atau yang melindungi pengedarnya bukan narkobanya. “NARKOBA adalah barang haram”. Betulkah narkoba itu barang haram? Kalau begitu tidak boleh digunakan sekalipun untuk tujuan pengobatan.
Kalimat “Perangi NARKOBA” juga kurang tepat. Kalau perang artinya narkoba itu musuh, padahal kalau dilihat defenisinya menurut WHO, narkoba adalah semua zat, kecuali makanan, minuman atau oksigen yang jika dimasukkan kedalam tubuh dapat mengubah fungsi tubuh secara fisik dan atau psikologis. narkoba itu terdiri dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Narkotika menurut UU no 22 th1997 adalah suatu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau peribahan kesadaran, hilangnya rasa dan dapat menimbulkan ketergantungan. Sedangkan defenisi psikotropika menurut UU no 5 tahun1997 adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas normal dan perilaku.   Narkoba itu sebetulnya sudah ada sejak zaman dahulu dan sebenarnya bermanfaat bagi kehidupan manusia. Kenapa diperangi ? Siapa dan apa sebenarnya yang harus diperangi ?
Ungkapan say no to drug, menurut Veronica Colondam, Chief Excecutife Officer YCAB, untuk sebagian orang memang ampuh tapi untuk sebagian orang malah jadi penasaran. Kenapa say no ? Tanpa pengetahuan yang memadai malah membuat mereka menjadi penasaran (SADAR, Desember, 2006). Hasil penelitian LSM KEREN terhadap siswa SMA swasta di Cimahi menunjukkan bahwa 59 % responden menunjukkan sikap yang favorable terhadap penyalahgunaan narkoba. Pernyataan yang menyatakan menggunakan NARKOBA sama dengan penyalahgunaan narkoba, bahwa penggunaan rokok dan ganja merupakan “pintu gerbang” ke “zat yang lebih keras” agaknya kurang tepat karena ada perbedaan antara mencicipi, menggunakan, menyalahgunakan dan kecanduan. Dan penggunaan satu jenis narkoba tidak selalu pasti mengarah kepada penggunaan narkoba lainnya.
            Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka  slogan – slogan yang berkaitan dengan narkoba yang telah beredar di masyarakat, perlu dievaluasi sejauh mana keefektifannya, bagaimana persepsi masyarakat terutama target sasaran terhadap slogan tersebut dan bagaimana dampaknya. Sekaranglah waktunya untuk merobah cara – cara lama yang memberikan informasi yang cenderung menakut – nakuti dan berlebihan menjadi pemberian informasi yang jujur, proporsional dan cara pandang yang positif. Sebagai contoh slogan yang baik misalnya Demi bangsa dan negara ini, mari kita semua berjuang memerangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.
            Masalah yang paling serius adalah adanya unsur korupsi dan kolusi dalam penanganan kasus NARKOBA. Hasil penelitian kualitatif yang dilakukan oleh salah seorang mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri mengungkap tentang bagaimana mafia peradilan dalam penanganan kasus narkoba. Disamping itu juga, rendahnya moral para penegak hukum, membuat mereka sendiri terjerumus kedalam penyalahgunaan narkoba, bahkan menjadi pelindung para pengedar narkoba. Kasus seorang Kapolsek di Bogor baru – baru ini yang tertangkap basah sedang menggunakan shabu merupakan salah satu dari banyak kasus yang sangat memalukan dan membahayakan.
            Berkaitan dengan permasahan ini, agaknya memang cukup sulit untuk diatasi. Karena korupsi sudah menjadi budaya di negeri kita ini. Orang akan merasa malu kalau ketahuan maling, tapi orang tidak merasa malu kalau ketahuan korupsi. Padahal maling dan korupsi itu kan secara hakekatnya sama.
            Mungkin perlu adanya sebuah terobosan dalam menghapus  budaya ini. Perlu ditanamkan kepada masyarakat bahwa korupsi itu adalah maling. Atau hilangkan saja kata korupsi, sebut saja maling untuk semua perbuatan yang mengambil sesuatu yang bukan haknya. Jadi sekalipun dia pejabat atau penegak hukum, seandainya dia mengambil sesuatu yang bukan haknya, dia tetap dibilang maling, sama seperti seorang penggangguran yang maling motor.
            Pemberian hukuman yang tegas bagi maling – maling yang berkeliaran di negara kita ini, sangatlah penting agar memberi efek jera dan takut untuk melakukannya. Seharusnya ada pemimpin yang berani menegakkan hukum dengan tegas dan adil tanpa pandang bulu.
            Disamping itu menumbuhkan kesadaran berTuhan (God Consciousness) bagi para penegak hukum sangatlah penting untuk menumbuhkan  keberanian mereka dalam menangani kasus – kasus peredaran gelap narkoba dan kasus – kasus korupsi lainnya, jangan sampai kasus – kasus yang telah terungkap tidak dituntaskan. Dengan menumbuhkan kesadaran berTuhan seseorang akan bekerja dengan ikhlas (God oriented) dan ihsan (melakukan sesuatu dengan kesadaran bahwa semua perbuatannya dilihat Allah). Sehingga membuat seseorang tidak berani berbohong, berbuat curang, memanipulasi data atau perbuatan tercela lainnya.
           

E. Kesimpulan

Permasalahan penyalahgunaan dan pererdaran gelap narkoba memang bukanlah masalah yang sederhana. Masalahnya sangat komplek dan bisa dikatakan rumit. Karena itu diperlukan berbagai upaya yang komprehensif dan berkesinambungan dalam memeranginya.
Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta dan masyarakat selama ini nampaknya belum menunjukkan hasil yang memuaskan, hal ini disebabkan oleh berbagai kelemahan dan kendala terutama dalam koordinasi aplikasi program, evaluasi dan monitoring serta masalah moral penegak hukum.
Dalam rangka semangat untuk terus memerangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, mari kita perbaiki kelemahan – kelemahan tersebut dan kita atasi berbagai kendala dengan cara yang cerdas.
Demi bangsa dan negara ini, mari kita semua terus berjuang memerangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Kita harus menang! Insyaallah.

SUMBER : http://ynsuryani.wordpress.com/2008/06/16/permasalahan-narkoba-di-indonesia/

Peran Pendidikan


Peran Pendidikan dalam Pembangunan

Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.

Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.
Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan

Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.

Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.

Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.

Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”
Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas

”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.

Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.***

Kasus Bunuh Diri di Indonesia


KASUS BUNUH DIRI DI INDONESIA

Warga Jakarta, Senin, 30 November 2009 lalu dikagetkan peristiwa jatuhnya seorang perempuan, bernama Ice Juniar dari lantai lima Grand Indonesia.

Belum juga usai pemberitaan perempuan malang ini, warga Jakarta kembali dikejutkan kembali dikejutkan dengan jatuhnya seorang pria bernama Reno. Dia terjatuh dari lantai lima pada 20.30 WIB.

Banyak spekulasi bermunculan atas cerita jatuhnya kedua orang ini. Mulai dari bunuh diri, faktor keamanan mal, kelalaian dari pengelola mal, atau pasangan bunuh diri seperti dalam cerita Romeo dan Juliet karya William Shakespeare.
Namun, angka kematian akibat bunuh diri di tanah air belakangan cenderung meningkat. Kasus yang disebabkan banyak faktor ini, cenderung dilakukan ditempat-tempat terbuka.
Di Provinsi Bali, berdasarkan data yang dihimpun Kepolisian Daerah Bali selama lima bulan tahun 2008 sebanyak 70 kasus, sementara tahun 2009 ada 39 kasus.

Namun caranya berbeda, justru kasus yang terbanyak melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri sebanyak 36 orang, minum racun dua kasus, menceburkan diri ke sumur satu kasus.

Pelakunya, sebagian besar dilakukan laki-laki. Untuk tahun ini sebesar 24 orang, sementara perempuan ada 15 orang. Sedangkan tahun 2008 ada 52 orang laki-laki dan 18 orang perempuan.

Untuk tingkat usia terbanyak 46-80 tahun ada 14 kasus, 26-45 tahun ada 12 kasus, dan 16-25 tahun dan 5-15 tahun masing-masing ada 11 dan 2.
Jelas ini sangat memprihatinkan, apalagi latar belakang para pelaku bunuh diri karena sakit yang menahun ada 25 kasus, terhimpit masalah ekonomi 5 kasus, dan frustasi ada 9 kasus. Yang membuat miris, justru terbesar dilakukan petani sebanyak 22 kasus, swasta 10 kasus, buruh dan pelajar masing-masing 5 dan dua kasus.
Sementara pada lima tahun terakhir, berdasarkan data yang diluncurkan forensik FKUI/RSCM 2004 terdapat 771 orang laki-laki bunuh diri dan 348 perempuan bunuh diri. Dari jumlah tersebut, 41 persen melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri, dengan menggunakan insektisida 23 persen, dan overdosis mencapai 356 orang.

Pada tahun 2005, tingkat bunuh diri di Indonesia dinilai masih cukup tinggi. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2005, sedikitnya 50.000 orang Indonesia melakukan tindak bunuh diri tiap tahunnya. Dengan demikian, diperkirakan 1.500 orang Indonesia melakukan bunuh diri per harinya.

Sementara untuk tahun 2007, terdapat 12 korban bunuh diri karena terimpit persoalan ekonomi, delapan kasus lainnya akibat penyakit yang tak kunjung sembuh lantaran tidak punya uang untuk berobat, dan dua kasus akibat persoalan moral yakni satu orang lantaran putus cinta, dan seorang akibat depresi.

Lalu pada 2008, berdasarkan data sejak awal 2008 hingga bulan April sudah ada 11 kasus bunuh diri yang terjadi di Kabupaten Banyumas atau rata-rata tiap bulannya hampir tiga kasus.

Adapun faktor psikologi yang mendorong orang bunuh diri adalah dukungan sosial kurang, baru kehilangan pekerjaan, kemiskinan, huru-hara psikologi, konflik berat pengungsi dan sebagainya.

Sementara berdasarkan data dari Sumber Wahana Komunikasi Lintas Spesialis menunjukan, di Indonesia tidak ada data nasional secara spesifikasi tentang bunuh diri.

Namun laporan di Jakarta menyebutkan sekitar 1,2 per 100.000 penduduk dan kejadian bunuh diri tertinggi di Indonesia adalah Gunung Kidul, Yogyakarta mencapai 9 kasus per 100.000 penduduk.

Adapun kejadian bunuh diri tertinggi berada pada kelompok usia remaja dan dewasa muda (15 – 24 tahun), untuk jenis kelamin, laki laki melakukan bunuh diri (comite suicide) empat kali lebih banyak dari perempuan. Namun, perempuan melakukan percobaan bunuh diri (attemp suicide) empat kali lebih banyak dari laki laki.

Posisi Indonesia sendiri hampir mendekati negara-negara bunuh diri, seperti Jepang, dengan tingkat bunuh diri mencapai lebih dari 30.000 orang per tahun dan China yang mencapai 250.000 per tahun.

Kasus bunuh diri di Indonesia belakangan ini dinilai cukup memprihatinkan karena angkanya cenderung meningkat sehingga perlu mendapat perhatian serius pemerintah, kata seorang sumber.

"Kasus bunuh diri menempati satu dari 10 penyebab kematian di setiap negara," kata Ketua Lembaga Kajian dan Pencegahan Bunuh Diri (LKPBD) Kunang-kunang Al Qodir Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta Wiranata Adi, di Sleman, Jumat.

Menurut dia, bunuh diri merupakan satu dari tiga penyebab utama kematian pada kelompok umur 15 hingga 44 tahun dan nomor dua untuk kelompok 10 hingga 24 tahun.

Ia mengatakan, WHO atau Organisasi Kesehatan Dunia pada 2010 melaporkan angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1,6 hingga 1,8 per 100.000 jiwa.

"Angka itu bisa jadi masih lebih besar lagi mengingat fenomena bunuh adalah ibarat gunung es, yang tampak hanya puncaknya sementara yang tertutup dan ditutupi sesungguhnya lebih besar lagi," katanya.

Ia mengatakan, dengan semakin majunya peradaban manusia melalui berbagai teknologi ternyata manusia mengalami kerentanan menghadapi diri sendiri maupun lingkungan yang akhirnya bermuara pada tindakan bunuh diri.

"Kenyataan ini dibuktikan dengan peningkatan angka bunuh diri yang meningkat secara signifikan. Perkiraan WHO memperkirakan pada 2020 angka bunuh diri secara global menjadi 2,4 per 100.000 jiwa dibandingkan 1,8 per 100.000 jiwa pada 1998," katanya.

Wiranata mengatakan, fenomena bunuh diri sudah ada sejak masa purba dan terus berkembang hingga sekarang. Fenomena bunuh diri terjadi di mana-mana dan di semua lapisan masyarakat.

"Model dan caranya terus mengalami perkembangan dan itu sangat memprihatinkan," katanya.

Ia mengatakan, LKPBD Kunang-kunang Al Qodir, didukung beragam profesi dan lintas disiplin ilmu.

"Selain kalangan akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta, LKPBD Kunang2 juga didukung para tokoh dari lintas agama," katanya.

Dengan memperhatikan pentingnya pembahasan perilaku bunuh diri dalam budaya modern kehidupan manusia saat ini, banyak lembaga formal dan nonformal tingkat internasional telah memperlihatkan peningkatan perhatian secara signifikan selama empat dekade ini, katanya.

Ia mengatakan, berbagai pendekatan disiplin keilmuan telah diterapkan tetapi belum memberikan hasil positif dalam menurunkan angka bunuh diri. Kajian bunuh diri sudah banyak dilakukan dengan pendekatan ilmu kedokteran jiwa, psikologi, sosiologi, biologi, agama, filsafat, hukum, budaya, sejarah, politik, ekonomi, klimatologi, kimia, bahkan sampai merambah dunia mistis.

"Namun sayangnya di Indonesia perhatian pemerintah maupun elemen lain terhadap masalah tersebut masih sangat terbatas atau bahkan bisa dibilang hampir tidak ada," katanya.
Semua Alasan Bunuh Diri tersebut muncul karena kurangnya kesadaran diri dan ketidak mampuan otak mencerna apa yang terjadi. Timbulah Putus Asa dan penyesalan, ketika ingin terdar ke dunia nya Otaknya tidak bisa lagi membedakan kenyatan dan Khayalan Otak ketika dalam keadaan tak menentu tadi. Munculah jalan pintas, ide yang dianggapnya Kreatif yaitu menhakhiri semua kesengsaraan dengan jalan Bunuh Diri. Sekarang kita lihat Fakta Perilaku Bunuh Diri di Indonesia yang saya sadur dari kompas.com Tragedi dan statistik Pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin, pernah menyatakan bahwa kematian satu-dua orang boleh jadi adalah tragedi, tetapi ratusan, ribuan, apalagi jutaan orang akan menjadi statistik belaka. Kematian tragis Rubini, Abu Sumono, dan beberapa lainnya dapat dikatakan sebagai tragedi, tetapi bagaimana jika diprediksi setiap hari ada 150 orang bunuh diri karena depresi di Indonesia? Dalam setahun jumlah orang bunuh diri mencapai 50.000 orang! Adakah ini menyiratkan kegentingan bagi kesehatan jiwa di Indonesia? Tahun 2005, Benedetto Saraceno, Direktur Departemen Kesehatan Mental dan Penyalahgunaan Substansi WHO, menyatakan, kematian rata-rata karena bunuh diri di Indonesia 24 kematian per 100.000 penduduk. Jika penduduk Indonesia 220 juta jiwa, diperoleh angka 50.000 kasus kematian akibat bunuh diri. Data ini pernah diungkapkan A Prajitno, Guru Besar Emeritus Psikiatri Universitas Trisakti, dalam Simposium Nasional Bunuh Diri, di Surabaya, April 2009. ”Data itu, menurut hemat saya, terlalu tinggi untuk Indonesia. Angkanya begitu tinggi karena ada depresi massal di Aceh pascatsunami akhir 2004. Di Gunung Kidul, angka bunuh diri tinggi, 9 per 100.000 penduduk. Hal ini karena selama tiga dekade terakhir ada yang merasa tertinggal oleh laju pembangunan. Angka bunuh diri di Jakarta lebih rendah daripada Gunung Kidul, 5,8 per 100.000 orang tahun 1995-2004. Ini karena pelaporan di Jakarta baik,” kata Prajitno yang memperoleh gelar doktornya dengan disertasi tentang bunuh diri di Jakarta. Menurut Hervita Diatri, psikiater komunitas FKUI/RSCM, angka bunuh diri di perkotaan dan di pedesaan Indonesia relatif sama. Di desa memang masyarakatnya lebih guyub, di perkotaan warganya lebih individual dan persaingan hidup lebih keras, tetapi mempunyai akses lebih baik terhadap informasi dan fasilitas layanan kesehatan. Depresi, yang merupakan 80 persen penyebab bunuh diri, bukan penyakit menular seperti demam berdarah dengue atau HIV/AIDS. Namun, bunuh diri sebagai pilihan untuk mengakhiri hidup mereka yang putus asa tak sedikit pula yang menimbulkan efek tiru-tiru (copycat). Di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, beberapa tahun terakhir marak modus bunuh diri dengan melompat dari lantai atas mal atau menara BTS. Tahun 1980-an, modus bunuh diri dengan insektisida juga banyak ditiru orang. Di pedalaman seperti Gunung Kidul, pola bunuh diri paling lazim adalah dengan menggantung diri seperti yang dilakukan Rubini atau dengan racun hama tikus. Mungkinkah bunuh diri di Gunung Kidul dan tempat lain di Indonesia bisa ditekan jika pemerintah dan masyarakat abai dan lalai terhadap pencetus utamanya, yakni depresi? Masih berminat Bunuh Diri ? :D, gak usah lah enakan hidup banyak makanan, bisa maen ke Mall, di akhirat kata orang gak ada warung Boss, udah duyu ya dari Catatan 27 mengenai Fakta Perilaku Bunuh Diri di Indonesia, semoga bermanfaat bagi anda. kuragi angka kematian akibat Bnuh Diri.


Hukum di Indonesia


Bagaimana hukum di Indonesia?

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi9U3BpRrPoYG04CNIKMt1LBvlllfmK1n-29NNTgHhwOw4Q7hbG4StXTcqOnxvKvbo5G68-FWnVgW0lAu9wwRINno-rjpcFhv2z-sqtTp8kEMOowSzETxY6N5Lge-ArOGxO9wZrdSF1e1Oz/s320/Bagaimana+hukum+di+Indonesia.jpg

Bagaimana hukum di Indonesia? Kebanyakan orang akan menjawab hukum di Indonesia itu yang menang yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walau aturan negara dilanggar. Orang biasa yang ketahuan melakukan tindak pencurian kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang milyaran milik negara dapat berkeliaran dengan bebasnya.

Itulah seklumit jawaban yang menunjukan penegakan hukum di Indonesia belum dijalankan secara adil. Oleh karena itu diperlukan adanya reformasi hukum di Indonesia.

Dalam pembahasannya menilai bahwa perkembangan penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari harapan. Sejak Indonesia merdeka sampai pemerintahan Gus Dur pasti terdapat kekurangan- kekurangan dalam mewujudkan negara hukum di Indonesia.

Pembahasan hukum dalam makalah tersebut lebih banyak mengkritisi pemerintahan ORBA yang gagal dalam menjalankan hukum. Karena tidak berjalannya prinsip rule of law yang menuntut peraturan hukum dijalankan secara adil dan melindungi hak- hak sosial dan politik dari pelanggaran yang dilakukan baik warga maupun penguasa.

Masalah pelaksanaan hukum di Indonesia dibahas dengan menunjukan fakta- fakta pelanggaran aturan hukum yang terjadi di era ORBA.Dalam pembahasan tersebut menunjukan law enforcement tidak berjalan dan lambatnya proses penanganan pelanggaran hukum oleh penguasa. Bahkan sampai era reformasi pemerintahan SBY belum juga dilaksanakan secara adil. Hal terjadi karena rezin ORBA masih ada dan karena adanya money politic.

Dengan adanya fakta- fakta tersebut kita sebagai masyarakat yang peduli keadilan diajak untuk lebih mengkritisi kasus- kasus pelanggaran kejahatan-kejahatan kemanusiaan dan aturan hukum yang menanganinya. Masalah pencabutan perundang- undangan yang tak demokratik dibahas mengenai Pengamandemenan UUD 45 pasal 6 ayat (1) yang memang perlu dilakukan. Karena pasal tersebut tidak mencerminkan penegakan hukum secara demokratik Dan itu terbukti menjadi solusi karena dalam UUD 45 pasal 6 ayat (1) Amandemen keempat telah berubah bunyinya menjadi “ Capres dan cawapres harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaran lain karena kehendaknya sendiri….” Masalah impunity dalam kaitannya dengan amandemen kedua UUD 45 Pasal 28I ayat (1) memang belum jelas apakah pasal tersebut berlaku sama terhadap tindak kejahatan- kejahatan kemanusiaan
.
Jika dilihat dari limu hukum uraian di atas cukup mendukung bahwa satu- satunya jalan adalah dengan mengamandemen pasal tersebut. Akan tetapi sampai UUD 45 amandemen keempat atau UUD 45 yang berlaku sekarang ini belum diubah. Dari penjelasan- penjelasan masalah di atas intinya adalah untuk mereformasi hukum di Indonesia dengan penegakan supremasi hukum sehingga terwujud hukum yang adil. Era reformasi sudah cukup lama berjalan namum sampai sekarang penegakan hukum memang sulit dilaksanakan. Hal ini terjadi karena masih banyak kendala- kendala yang harus di hadapi. Untuk itu diperlukan peran serta masyarakat dan pemerintah dalam penegakan hukum. Semoga perkembangan hukum di Indonesia semakin maju dan dapat berjalan dengan adil.
Sangatlah tidak sulit untuk memaparkan bahwa kondisi hukum di Indonesia saat ini semakin memprihatinkan. Banyak tangis dan ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, bahkan tidak jarang emosi masyarakat semakin tersulut dikala ada pihak – pihak tertentu memanfaatkan hukum dalam mencapai suatu tujuan tertentu tanpa menggunakan hati nurani.
Dunia hukum Indonesia tengah mendapatkan sorotan yang keras dari berbagai macam lapisan masyarakat internal maupun eksternal, terutama mengenai penegakan hukum di Indonesia.
Sebelum bergerak mengenai penegakan hukum di Indonesia, baiknya kita memahami kembali defenisi dari pada hukum itu sendiri.
“ Hukum adalah suatu sistem terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan.”
“ Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 1979).”
Sangatlah jelas bahwa segala sesuatunya harus bergantung dengan hukum yang berjalan di Indonesia. Indonesia sendiri memiliki hukum yang secara gambalang tertulis dalam Undang – Undang.
Namun, kalau kita lihat secara kasat mata, akhir – akhir ini hukum sudah tidak berjalan dengan tegas. Kita ambil berbagai kasus mengenai aparatur negara yang tidak memiliki ujung penyelesaian yang jelas, bahkan dapat hilang begitu saja. Coba bandingkan dengan kasus yang mengenai kaum miskin, yang mungkin hanya dengan masalah kecil saja namun penyelesainnya sangatlah berlebihan bahkan di hukum hingga membabi buta. Sungguh sangat tragis, bukan?
Yah.. itulah sebuah realita hukum di negara kita ini. Hukum sudah disusun dengan sebaik mungkin, namun pelaksanaannya jauh dari kata baik.
Kalau ditanya sampai kapan adanya keseimbangan hukum akan berjalan dengan maksimal, mungkin tidak banyak orang hanya mampu mengernyitkan dahi dan berlalu pergi.
Sangatlah disayangkan perjuangan pahlawan yang bersusah payah menuangkan buah pikir dengan berbagai sejuta harapan, namun sekarang realitanya semuanya berjalan buruk.
Seharusnya pengegakan hukum itu harus mampu menyelaraskan pihak – pihak yang terkait hukum, tanpa memandang kiri ataupun kanan. Dalam artian, hukum harus bersifat netral dan harus memiliki faktor – faktor yang kuat, antara lain :
Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
                                                                                                            ( sumber wikipedia )
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum.
            Suatu penegakan hukum tidak lepas dari namanya aparatur penegah hukumnya sendiri. Penegak hukum harus menjadi golongan panutan masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Mereka harus mampu berkomunikasi dan mampu membawakan peranan yang mampu diterima masyarakat luas, antara lain bersikap :
1. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.
2. Senantiasa siap untuk menerima perubahan
3. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.
4. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya.
5. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.
6. Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.
7. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.
8. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
9. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan ihak lain.
10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitungan yang mantap.
                                                                                                            ( sumber wikipedia )
Ini menjadi sebahagian penting mengenai penegakan hukum di Indonesia ke arah yang lebih baik, dikarenakan masyarakat Indonesia mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan mengidentifikasikannya. Kalau sistem hukum tidak tegak dianggap karena pola perilaku penegak hukum tersebut sendiri.
Masih besar harapan masyarakat kelak adanya perubahan yang baik mengenai penegakan hukum di Indonesia. Sangat diperlukan penegasan, dan pengertian masing – masing pihak dengan tetap bersifat netral, tidak condong ke kiri maupun ke kanan, demi kepentingan dan kebaikan hukum di tengah masyarakat internal maupun eksternal.